Oleh : Risvande Lubis.
Eksotis keindahan alam Danau Toba di Parapat, Sumatera Utara sudah ada sejak puluhan tahun lalu dan diakui dunia menjadi salah satu keajaiban dunia. Bahkan kini danau yang memiliki luas 1.145 M2 ini telah ditetapkan UNESCO sebagai Toba Caldera UNESCO Global Geopark. Sementara pemerintah Indonesia dewasa ini sedang gencar-gencarnya melakukan pembenahan dengan melakukan kolaborasi lintas kementerian di kawasan Danau Toba yang juga sudah dijadikan sebagai kawasan super prioritas.
Sejalan dengan pembenahan itu pemerintah Indonesia dalam tiga tahun ini juga sedang membangun infrastruktur jalan tol mulai Medan sampai ke Kabupaten Samosir untuk memudahkan akses perjalanan wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnu) menuju objek wisata Danau Toba yang memilliki kedalaman sekitar 450 meter.
Saat ini pembangunan jalan tol baru sampai kota Tebing Tinggi, sedangkan proyek jalan tol menuju Kota Pematang Siantar sedang dalam tahap pengerjaan. Dunia paling tidak sedang menunggu adanya perubahan baru terhadap keberadaan destinasi wisata Danau Toba.
Tak cuma itu, masyarakat Sumut juga sangat berharap adanya keajaiban baru terhadap riuhnya wisata Danau Toba seperti yang terjadi pada tahun 1990-an. Selalu semarak saat digelarnya Festival Danau Toba setiap tahunnya. Tidak seperti saat ini, hanya ramai saat pergantian akhir tahun. Itupun didominasi wisatawan lokal.
Padahal sejak puluhan tahun lalu potensi Danau Toba yang berkelas dunia ini sangat besar. Bahkan keindahan alamnya dikelilingi tujuh kabupaten di Sumatera Utara seperti kabupaten Simalungun, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan (Humbahas), Karo, Samosir dan kabupaten Dairi,
Apapun ceritanya, semangat membangun super prioritas yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap objek wisata Danau Toba di berbagai sektor dan berbagai bidang memang harus diapresiasi. Karena beberapa tahun lalu, kunjungan wisatawan mancanegara untuk menikmati panorama alam dan budaya di Danau Toba semakin memprihatinkan. Bahkan suasana ini diperparah lagi dengan adanya pandemi covid-19 dua tahun ini.
Namun dibalik gegap gempitanya pembenahan pada destinasi Danau Toba, kita juga harus menjaga dan meningkatkan kelestarian lingkungan hidup. Apalagi di kawasan danau tersebut banyak merebak isu pencemaran lingkungan dan illegal loging atau penebangan hutan liar yang berujung dengan perusakan lingkungan.
CUKUP BESAR
Meski anggaran untuk lingkungan hidup secara nasional cukup besar, namun diperkirakan belum mampu mengatasi dan mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi seperti banjir bandang, maupun longsor.
Berdasarkan data yang tertuang pada anggaran APBD Sumatera Utara untuk Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sumatera Utara tahun 2021 mencapai Rp.60 miliar. Anggaran tersebut diantaranya untuk program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebesar Rp.17, 8 miliar lebih serta inventarisasi kerusakan lingkungan di kawasan pesisir Provinsi Sumatera Utara sebanyak Rp 199.995.850, clean up Danau Toba mencapai Rp. 449.666.320.
Sementara untuk pemantauan untuk Operasional Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pengelolaan Kualitas Air Danau Toba mencapai Rp 1 miliar lebih dan program untuk kualitas air Danau Toba secara berkala sebesar Rp 292.214.800.
Boleh jadi besaran anggaran sejumlah program tersebut ternyata tidak diimbangi dengan program koordinasi dan tindak lanjut penanganan kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang hanya Rp 193, 9 juta lebih.
Sedangkan program penyelidikan dan penyidikan kasus pelanggaran lingkungan hidup sebesar Rp 158, 2 juta lebiih dan program pelaksanaan penegakan hukum atas pelanggaran perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup hampir mencapai Rp. 200 juta.
“Sejatinya anggaran pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup harus lebih besar dari yang diprogramkan, tidak cukup sebanyak Rp.17,8 miliar. Karena yang namanya banjir bandang akibat dugaan illegal logging sulit ditebak. Sewaktu-waktu faktor cuaca ekstrim juga bisa memicu terjadinya banjir bandang akibat ekses dari dugaan pembalalkan hutan lindung maupun lainnya,” Ketua Dewan Pengurus Daerah Badan Penelitian Aset Negara Lembaga Aliansi Indonesia (DPD BPAN LAI) Provinsi Sumatera Utara, Benny Ade Kurnia di Seketariat lembaga tersebut, Senin (27/12/2021).
Selain itu, pegiat lingkungan hidup di Sumatera Utara ini juga meminta pengawasan terhadap lingkungan di kawasan destinasi Danau Toba yang dikelilingi tujuh kabupaten di Sumatera Utara harus diperketat dan jangan sampai lengah. Karena hal tersebut menyangkut kelestarian hutan yang merupakan paru-paru dunia.
“Jika pengawasan terabaikan, dikuatirkan bisa menimbulkan petaka besar seperti banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat tahun 2004 dan di kabupaten Labuhan Batu Utara (Labura) dua tahun lalu,” kata Benny Ade Kurnia.
TUGAS BERAT
Dalam hal pengawasan, lanjutnya, itu memang tugas berat bagi pemangku kepentingan di Sumatera Utara untuk menjaga kelestarian lingkungan, termasuk memantau penebangan kayu illegal dan pencemaran air Danau Toba.
Benny Ade Kurnia juga mengakui bahwa beberapa tahun lalu, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) pernah mengeluarkan surat penertiban untuk usaha Kerambah Jaring Apung (KJA) di kawasan wisata Danau Toba.
Boleh jadi, dikeluarkannya surat penertiban tersebut karena semakin maraknya usaha KJA di kawasan Danau Toba serta adanya usaha ternak besar yang diduga mengakibatkan tercemarnya air Danau Toba Parapat. Sehingga pengunjung Danau Toba jadi emoh atau tidak ingin mandi-mandi lagi ditepian danau tersebut.
“Dalam hal pengawasan lingkungan hidup, kita juga harus memaklumi, adanya dugaan tekanan dan ancaman untuk mempertahankan kelestarian alam di kawasan Danau Toba. Sehingga pejabat tinggi di kabupaten yang berada di kawasan danau seperti tak berdaya untuk bertindak tegas,” ujar Benny Ade Kurnia.
Dan konsekwensinya juga sudah dapat ditebak, yang namanya pembalakan hutan masih juga terjadi di Sumatera Utara. Begitu juga dengan pencemaran lingkungan di kawasan Danau Toba masih terus berlangsung.
“Lihat saja beberapa waktu lalu, puluhan ribu ikan di kawasan Danau Toba pada bermatian akibat adanya pencemaran air disana. Ke depan kita minta jangan sampai terjadi lagi. Sebab hal itu bukan saja menjadi sorotan dunia, tapi juga mengakibatkan seratusan warga di sekitar Danau Toba menangis akibat mata rantai penghidupan mereka terganggu,” kata Benny Ade Kurnia seraya menambahkan bahwa pada Desember 2021 juga terjadi aksi unjuk rasa di DPRD Sumatera Utara terkait adanya pencemaran air Danau Toba yang diduga dilakukan salah satu perusahaan KJA di kawasan danau tersebut.
Untuk itu pemerintah di tujuh kabupaten yang mengelilingi destinasi Danau Toba tersebut jangan sampai lengah. Sebab bisa saja pengusaha mencari peluang atau celah untuk dapat melakukan hal-hal yang menyalahi undang-undang berlaku di Indonesia.
Di satu sisi, kita memang harus menghormati adanya usaha KJA di kawasan Danau Toba yang salah satunya untuk menghidupi keluarga kecil di sekitar danau tersebut. Namun di lain pihak kita juga harus menghargai dan menjalankan amanah undang-undang untuk mempertahankan dan meningkatkan kelestarian lingkungan hidup.
“Jadi yang kita butuhkan adalah win-win solution atau perimbangan, artinya bagaimana kita bisa mengatur keseimbangan di seputaran destinasi Danau Toba tersebut,” ujarnya.
Yang terpenting, tambah Benny Ade Kurnia, adalah jangan sampai airmata mengalir deras di ujung Danau Toba. Karena yang namanya kelestarian lingkungan hidup bukan hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup, tapi juga tanggung jawab kita semua. ***
Tulisan ini diikutsertakan pada Kompetisi Karya Jurnalistik 2021 Tambang Emas Martabe.