“Untuk itu, dalam rangka penanggulangan kejahatan korporasi melalui pendekatan penegakan hukum integral dapat dipahami sebagai bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional, yang meliputi evaluasi terhadap struktur, substansi, dan budaya hukum guna mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu tercapainya suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengatakan, tema yang diangkat tersebut sangat relevan dengan dinamika perkembangan hukum di Indonesia dewasa ini.
Sebagaimana dalam paparan pidato ilmiah yang disampaikan oleh Prof. (H.C.) Dr. Asep N. Mulyana, S.H., M.Hum., berkaitan dengan model penegakan hukum integral sebagai salah satu alternatif dalam pertanggungjawaban pidana korporasi. Pendekatan penegakan hukum integral, menurut Barda Nawawi Arief, adalah berpikir “dalam bagian atau sebagai bagian dari keseluruhan”, berarti juga, berpikir secara menyeluruh, tidak melihat sesuatu secara terpisah atau parsial dari kesatuan yang berkesinambungan.
Jaksa Agung mengatakan, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam penegakan hukum integral harus dilakukan dengan memenuhi nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut masyarakat agar memenuhi rasa keadilan. John Rawls menyatakan keadilan merupakan suatu hal yang paling mendasar yang harus ada dalam institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran dalam sistem pemikiran.
“Hukum dan institusi adalah untuk manusia, apabila hukum itu tidak memiliki nilai keadilan yang dirasakan oleh masyarakat maka hukum itu perlu dirombak atau bahkan dihapuskan,” tegasnya.
Keadilan sebagai kebajikan utama umat manusia, sambung Jaksa Agung, mengharuskan terciptanya kebenaran dan keadilan di dalam masyarakat, dan upaya manusia tersebut tidak bisa diganggu gugat. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama dalam memaknai keadilan.
“Adil menurut seseorang belum tentu adil bagi seseorang lainnya. Ketika seseorang menyatakan bahwa ia berlaku adil, maka keadilan yang diciptakan tersebut haruslah relevan dengan ketertiban umum dimana nilai keadilan tersebut diakui oleh masyarakat,” jelasnya.
Jaksa Agung memaparkan, nilai keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap nilai keadilan didefinisikan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat tersebut. Dikarenakan sifatnya yang relatif tersebut, maka definisi keadilan hingga saat ini masih beragam, dimana para ahli ilmu hukum, memiliki pandangan dan pendapatnya masing-masing.
Jaksa Agung menjelaskan bahwa teori keadilan dalam ranah hukum pidana mengalami perubahan paradigma yang dimulai di Eropa Barat sejak tahun 1990 yang mencoba mengubah paradigma hukum pidana dari keadilan retributif yang berorientasi pada pembalasan menjadi keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, keadilan restoratif, dan menuju keadilan transformatif.
“Perkembangan dalam penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif kerap disamakan dengan keadilan transformatif, bahkan M. Kay Harris menyamakan antara keadilan restoratif dan keadilan transformatif dengan mengatakan, “keadilan restoratif dan keadilan transformatif merupakan satu hal dengan dua nama, dan perlu dipahami bahwa penyebutan istilah antara keduanya dapat saling digunakan”. Bahkan beberapa praktisi menyatakan bahwa istilah yang lebih tepat dalam penggunaan definisi untuk keadilan restoratif adalah keadilan transformatif,” ujarnya.
Jaksa Agung mengatakan, tidaklah mengherankan jika praktisi hukum menyamakan antara keduanya, karena memang terdapat beberapa persamaan antara keadilan restoratif dan keadilan transformatif, yaitu sebagai suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu konflik.