Simalungun, PRESISI – NEWS | Masyarakat dari kerajaan-kerajaan Simalungun tidak mengenal yang dinamakan masyarakat adat, karena penduduknya terdiri dari kelompok bangsawan yang disebut Partuanon , dan masyarakat petani ( Paruma ) sebelumnya ada kelompok budak ( Joblon ) namun dihapus pemerintah kolonial belanda pada awal penjajahan di awal abad ke dua puluh.
Hal ini di ungkapkan Ketua Umum Patuha Maujana Simalungun, dr. Sarmedi Purba dalam temu pers bertemakan ” Tanah Simalungun Tanah Milik 7 Kerajaan”, Rabu,( 28/08/2024).
Sarmedi Purba menjelaskan, Patuha Maujana Simalungun melakukan pertemuan ini berkaitan adanya-adanya klaim dari berbagai pihak yang mengatasnamakan masyarakat adat dan tanah adat yang ada didalam wilayah Simalungun.
” Kasus pertanahan yang terjadi di wilayah administrasi Simalungun adalah murni kasus tindak pidana, dan tidak ada kaitanya dengan pengakuan sekelompok orang atas nama masyarakat adat ataupun tanah adat,” ucap dr. Sarmedi Purba.
Lebih lanjut Sarmedi menjelaskan, bahwa penduduk asli Simalungun terdiri dari empat kelompok marga yaitu, Sinaga, Saragih, Damanik, Purba ( SISADAPUR).
Ketua Patuha Maujana Simalungun membeberkan history Kabupaten Simalungun mengatakan, sejak kerajaan Simalungun pertama, Kerajaan Nagur yang sudah eksis sejak abad ke delapan, tanah-tanah di daerah Kabupaten Simalungun adalah tanah milik kerajaan yang kemudian berbagi menjadi empat kerajaan ( Raja Maropat ) yaitu kerajaan Tanah Jawa, Dolok Silou, Panei dan Siantar. Setelah menjadi daerah jajahan belanda pada awal abad ke dua puluh menjadi 7 kerajaan, ditambah tiga kerajaan, Raya, Purba, dan Silimakuta.
Sebelum perang dunia ke 2 tahun 1939 – 1945 dan dibawah pemerintahan kolonial belanda, daerah Kabupaten Simalungun berbentuk daerah pemerintahan otonomi kerajaan yang disebut daerah kerajaan Swapraja.
“Sekali lagi kami ingin menegaskan bahwa tidak ada dan tidak dikenal istilah masyarakat adat di Simalungun, sejak abad ke 8 (delapan) Masehi sampai zaman NKRI, artinya tidak ada tanah adat di daerah Kabupaten Simalungun dari dulu hingga sekarang.”cetus Sarmedi Purba.
“Semoga klarifikasi dan konfirmasi kami ini dapat menjadi masukan dalam kebijakan pemerintah, dan pencerahan terhadap kelompok – kelompok lembaga sosial kemasyarakatan khusus terkait fakta dan sejarah tanah Habonaron Do Bona.”pungkasnya.
Japaten Purba menambahkan, marga lain yang masuk ke Simalungun sebenarnya sudah mengetahui terkait tanah raja ini namun pura-pura tidak tahu sehingga itu yang menjadi masalah.
” Saya mengakui sendiri bahwa tidak ada tanah adat Simalungun dan memang karena terlalu luas Simalungun ini jadi sangat janggal marga yang diluar Simalungun mengatakan tanah adat ,” kata Ketua Bidang Adat dan Budaya Patuha Maujana Simalungun.
Sementara itu, salah seorang perwakilan dari DPP Himapsi, Dedi Damanik mengatakan, hanya ada empat marga yang ada di Simalungun yang merupakan penduduk asli , tapi begitupun Simalungun sudah cukup toleran, siapa pun yang datang dipersilakan. Namun untuk hal-hal yang sensitif tidak ada istilah tanah adat di Simalungun,” tegasnya.
Terlihat hadir dalam temu pers tersebut, Wakil Ketua Umum DPP Patuha Maujana Simalungun, Dr Minten Saragih, Japaten Purba Ketua Bdang Adat dan Budaya, Rohdian Purba Sekretariat Eksekutif dan Juliaman Saragih.
( S.Siahaan )