Jakarta, PRSISI-NEWs.com- Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS), Marwan Batubara bersama sejumlah tokoh mengirimkan petisi kepada Komisi VII DPR untuk mengawal agar skema power wheeling tidak masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang saat ini tengah dibahas pemerintah dan DPR.
Petisi tersebut mengatasnamakan Warga Negara Indonesia yang diwakili oleh:
1. Dr. Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS.
2. Sofyano Zakaria – Pusat Studi Kebijakan Publik, Puskepi.
3. Ferdinan Hutahaean, Energy Watch Indonesia, EWI.
4. Defiyan Cori – Ekonom Konstitusi.
5. Salamuddin Daeng, Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, AEPI.
6. M. Kholid Syeirazi, Center for Energy Policy, CEP.
7. Abra Talattov – Peneliti INDEF
8. Tulus Abadi – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, YLKI.
9. Ali Achmudi Achyak – Center for Energy Security Studies, CESS.
Marwan mengatakan, petisi dibuat karena skema power wheeling dinilai kurang tepat, pasalnya skema tersebut akan menimbulkan permasalahan baru pada sektor kelistrikan.
Jika skema power wheeling disahkan di dalam UU EBT, maka produsen listrik swasta ( independent power producer/ IPP) bisa menjual listrik langsung ke masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan PLN, hal ini menyalahi konstitusi sebab dalam turunan Pasal 33 UUD 1945 yang tertuang dalam UU No.30/2009 tentang Ketenagalistrikan, penyediaan listrik untuk kepentingan umum dilakukan secara terintegrasi mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan diamanatkan dilakukan oleh PLN.
“Wewenang PLN ini merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara melalui BUMN,” kata Marwan, saat ditemui awak media, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/01/2022).
Marwan pun memandang skema power wheling akan merugikan negara sebab akan mengurangi kemampuan PLN untuk bertahan dari kondisi kelebihan pasokan listrik di Indonesia yang sangat besar dan tidak berimbang dengan konsumsi.
“Faktanya sarana itu (transmisi) dibangun dalam rangka menyalurkan listrik oleh PLN. Saat ini, sangat berlebih, over supply di Jawa itu sekitar 50 sampai 60 persen dan ini akan berlangsung mungkin 3 atau 4 tahun ke depan. Kemudian di Sumatera juga sekitar itu 40 sampai 50 persen,” paparnya.
Marwan melanjutkan, pemanfaatan jaringan PLN oleh IPP EBT melalui skema power wheeling juga akan menimbulkan masalah pada sisi konsumen, harga listrik pembangkit berbasis EBT yang dibangun swasta tentu akan lebih mahal, hal ini tentu akan dibebankan ke konsumen. Saat ini pun pemerintah belum memiliki pengaturan yang jelas terkait skema tarif yang akan diterapkan.
“Pemerintah sendiri belum jelas, jangan sampai nanti dengan tarif transmisi numpang lewat sarana PLN, kemudian tarif itu tidak jelas, tidak ada dasar perhitungan yang ilmiah dan objektif,” tuturnya.